RUU Pertanian yang Bisa Menjerat Petani Kecil Akhirnya Tetap Disahkan
Penjor.id – Ketika perhatian semua mata tertuju pada gelombang aksi mahasiswa, ternyat di dalam gedung DPR RI telah berlangsung rapat yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sistem Budidaya, tepat pada peringatan Hari Tani, Selasa (24/9/2019).
Peraturan ini menjadi salah satu dari beberapa peraturan perundangan terkait sumber daya alam yang dibahas DPR dan dikritik publik karena dinilai tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa mengatakan, UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) menjadi ancaman bagi petani, terutama petani pemulia benih.
“Terdapat pasal-pasal yang mengancam pengembangan varietas yang dihasilkan petani kecil. Ini tidak ada bedanya dengan UU Sistem Budidaya Tanaman (SBT) tahun 1992,” katanya.
Undang-Undang SBPB merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang SBT yang telah diajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh koalisi lembaga swadaya masyarakat karena beberapa kali terjadi kasus kriminalisasi petani pemulia benih.
MK kemudian mengabulkan permohonan dengan putusan Nomor 99/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 9 Ayat (3) dan Pasal 12 Ayat (1) UU SBT bertentangan dengan UUD 1945 karena dinilai diskriminatif dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan petani pemulia tanaman dalam melakukan pencarian, mengumpulkan, dan mengedarkan benih.
M Rifai dari Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan menyebutkan, disahkannya RUU SBPB tersebut memberi jalan bagi korporasi benih dan pertanian untuk menguasai sumber genetik dan benih yang masih ada di tangan petani kecil. Hal ini juga akan membuat petani tidak berdaulat di tanahnya sendiri.
Disahkannya RUU SBPB tersebut memberi jalan bagi korporasi benih dan pertanian untuk menguasai sumber genetik dan benih yang masih ada ditangan petani kecil.
Menurut Riai, koalisi juga mencatat adanya 22 pasal kontroversial dalam RUU SBPB. Di antaranya, Pasal 27 Ayat (3) yang menyebutkan, petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) harus melaporkan kepada pemerintah. Hal ini karena budaya pertanian Indonesia, utamanya masyarakat adat, selama ini mandiri benih dan mandiri dalam mengembangkan benih-benih unggulnya.
Selain itu, Pasal 29 Ayat (3) menyebutkan, varietas hasil pemuliaan petani kecil dalam negeri sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam satu wilayah kabupaten/kota. Pembatasan ini dinilai bertentangan dengan putusan MK Nomor 99/PUU-X/2012 atas Uji Materi UU SBT, yang memperbolehkan peredaran benih oleh petani kecil di seluruh wilayah hukum Indonesia.//sumber:rilisKKBPP