Prospektif Pemilu Serentak 2024, Sepakat Harus Terpisah Polanya
Penjor.id – Pemilu 2019 masih hangat-hangatnya, bahkan Presiden dan DPR-RI serta DPD juga belum dilantik, tetapi adik adik mahasiswa jurusan Ilmu Politik UINSA Surabaya sudah berpikir panjang 5 tahun kedepan dengan menggelar seminar bertajuk yang sangat menggelitik “Cukup atau Lanjut?” dengan sub tema Prospertif Politisi Terhadap Pemilu Serentak 2024 di gedung SAC UIN Sunan Ampel Surabaya (27/9/2019), dan ternyata dua narasumber yang dihadirkan sepakat harus ada pola baru kalaupun serentak tetapi tetap ada pemisahan.
Dr. Dwi Astuti, S.Ag, M.Si ketua FTBM Jawa Timur pembicara pertama, menilai pemilu serentak 2019 merupakan pemilu yang memakan korban terbanyak selama ini. “Berarti sistem ini kurang tepat dilakukan, jika tidak ingin terjadi korban Pemilu lagi,” ujar dosen Unsuri Surabaya.
Bahkan wanita yang aktif di organisasai kemasyarakatan khususnya di bawah naungan Nahdlatul Ulama ini membeberkan jumlah korban Pemilu 2019, tidak kurang 91 petugas KPPS meninggal dan 374 petugas KPPS yang sakit karena kelelehan.
“Menjawab pertannyaan dari judul seminar kali ini, saya secara pribadi berpendapat, kalaupun harus dilaksanakan bersamaan tetap ada pemisahan antara pusat dan daerah,” ujar wanita pernah meraih Sosial Enterprenuer Award Jawa Timur tahun 2013.
Alumni S-1 IAIN Surabaya menjabarkan, pemisahan yang kami usulkan harus ada klasifikasi jelas antara daerah dan pusat. Pemilu pertama serentak di tingkat daerah mulai pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta Legislatif ditingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II. Sedangkan pemilu kedua di tingkat pusat mulai pemilihan DPR-RI, DPD dan Presiden. “Dengan sistem ini tentu petugas tidak terlalu kelelahan,” tandasnya.
Ir. HM Heri Romadhon, MM anggota DPRD Propinsi Jatim periode 2019 – 2024 selaku pembicara kedua, sepakat dengan usulan Dwi Astuti, hanya saja polanya yang berbeda, “Sebagai alternatif pemisahan kalau saya punya pandangan lain, pemisahan bukan antar daerah dan pusat, tetapi yang dipisah antara Eksekutif dan Legislatif,” jelas politisi dari Partai Amanat Nasional.
Lebih lanjut Pria yang sudah pernah 3 periode duduk sebagai Legislatif di DPRD Kabupaten Blitar memaparkan, untuk Pemilu serentak Eksekutif dilaksanakan bersamaan mulai pemilihan Presiden, Gubernur serta Bupati dan Walikota, sedangkan untuk Legislatif juga diadakan serentak mulai DPR-RI, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota serta ditambah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Diakui ketua DPD PAN, karena Pemilu 2019 merupakan pemilu paling ‘gila’ dari 4 pemilu yang pernah saya ikuti. Bayangkan kami sebagai incumbent untuk merawat kontituen tidak hanya setahun menjelang Pemilu, tapi kami rawat selama menjabat. “Tetapi apa yang kami tanam selama bertahun tahun dalam pemilu 2019 langsung pupus karena sistem pemilu serentak, jadi menurut kami sebagai polisi cukup dirugikan,” ungkapnya.
Pria yang masih melanjutkan kuliah S3 di Unibraw Malang lantas mencontohkan, kadernya yang sudah selama 15 tahun memilihnya tiba-tiba secara terang terangan meninggalan, hanya gara-gara pilihan Presidenya berbeda dengan yang didukung oleh partai kami. “Gila tidak ini,” kenangnya. Tentu melihat kondisi ini akhirnya Heri menggunakan strategi lain agar tetap dapat memenangkan Pemilu.
Menurut moderator Kholili S.Ag sebenarnya ada satu lagi narasumber H Anwar Sadad, M.Ag Wakil Ketua DPRD Jatim, tetapi berhalangan hadir. Di akhir sesi dilakukan tanya jawab, peserta yang rata – rata mahasiswa baru jurusan Ilmu Politik cukup antusias untuk mempertanyakan lebih dalam, bahkan tidak ingin mendapat jawatan secara teori tetapi bagaimana prakteknya di lapangan. Tentu narasumber cukup menguasai dalam menjawab karena memang keduanya orang-orang yang bergerak di bidang politik praktis. (kat)