Menyebar Pengetahuan Budaya Lewat Festival Gandrung Sewu
Penjor.id – Sebanyak 1300 penari Gandrung berhasil memukai ribuan wisatawan yang hadir di Pantai Marina Boom, Banyuwangi.
Berlatarkan Selat Bali, para penari Gandrung menampilkan keindahan gerak
tari dalam balutan busana merah menyala. Festival Gandrung Sewu digelar rutin
tiap tahun dalam delapan tahun terakhir.
Menari di atas pasir pantai yang tak jauh dari kota, koreografi Festival
Gandrung Sewu selalu menjadi atraksi yang ditunggu para wisatawan. Tari
Gandrung merupakan tarian khas Banyuwangi yang telah ditetapkan sebagai Warisan
Budaya Tak Benda Indonesia.
Gending tradisional yang rancak mengiringi gerak penari Gandrung yang berselendang merah menyala. Berbagai formasi tarian ditampilkan dalam langgam yang indah. Hentakan kipas mengikuti irama gending.
Gandrung Sewu telah menjadi ikon Banyuwangi. Selain menjadi atraksi wisata yang memukau, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, Festival Gandrung Sewu juga mampu memproduksi pengetahuan budaya, khususnya bagi generasi muda.
“Idealnya, sebuah festival bukan semata-mata memproduksi produk seni-budaya, tapi juga harus mampu memproduksi pengetahuan budaya. Inilah yang kami ikhtiarkan di Banyuwangi. Jadi festival bukan hanya atraksi wisata, tapi juga bagian integral dari upaya pemajuan kebudayaan,” ujarnya saat konferensi pers sehari sebelum pelaksanaan festival.
Festival Gandrung Sewu, sambung Anas, secara kualitas terus meningkat
kualitasmua dari tahun ke tahun sehingga ditetapkan sebagai 10 Best Calendar of
Event pariwisata Indonesia.
Pada saat bersamaan, lanjut Anas, Festival Gandrung Sewu memproduksi
pengetahuan budaya melalui serangkaian workshop, latihan, diskusi tema, hingga
seleksi penari-penari baru yang melibatkan ribuan anak muda Banyuwangi.
“Tahun ini, misalnya, dari 1.300 seniman muda yang terlibat di Festival
Gandrung Sewu, 60 persen di antaranya adalah penari baru. Artinya ada proses
regenerasi. Selama proses persiapan, mereka ikut workshop, latihan,
diskusi-diskusi, nah dari sanalah pengetahuan budaya diproduksi dan
didistribusikan untuk anak-anak muda dengan melibatkan seniman, budayawan,
komunitas sanggar seni, hingga guru-guru,” ujarnya.
Untuk menjaga agar agenda pariwisata daerah tersebut terjaga
keberlangsungannya, Anas mengaku telah membuat peraturan daerahnya. “Agar
siapapun kelak yang menjadi pemimpin Banyuwangi, kegiatan yang mengungkit
ekonomi dan kreativitas rakyat ini akan terus berjalan,” terang Anas.
Gandrung Sewu mengambil tema yang berbeda-beda di setiap tahunnya. Pada tahun
2019 ini mengambil tema Panji Sunangkoro
Tema ini mengisahkan perlawanan prajurit pahlawan Rempeg Jogopati yang terus
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Mereka mendapat dukungan secara
diam-diam dari Bupati Banyuwangi pertama, Mas Alit. Namun, dukungan ini
terendus oleh VOC, dan Mas Alit dipanggil ke Semarang.
“Penjajah lalu melakukan langkah licik dengan menaikkan Mas Alit ke kapal
berbendera VOC. Para prajurit yang sudah siap melakukan perlawanan di laut
dengan membawa Panji Sunangkoro,” ujar Budianto, Ketua Panitia Gandrung
Sewu 2019 dalam release.
Begitu melihat kapal VOC melewat mereka langsung menyerang kapal tersebut
tanpa tahu bahwa di dalamnya ada Mas Alit,” tambahnya.
Perlawanan gigih terhadap kolonial inilah yang divisualisasikan ribuan penari
Gandrung dalam sebuah pagelaran seni kolosal ini. “Kita visualisasikan
dengan tari dan gerak. Kita latihan lebih dari 3 bulan,” tambahnya.//