Menyongsong Harapan Baru
Oleh : Windiarto Kardono*
“Think Globally and Act Locally”, begitu prolog MAR mengawali tausiyah politiknya di hadapan kader pengurus DPW dan DPD PAN Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Kondisi tata nilai dan geo ekonomi politik global di tandai dengan terjadinya kemerosotan nilai moral dan bertekuk lututnya kebijakan politik di hadapan korporasi internasional.
MAR juga menyebut riset ‘Oxfam Foundation’ menunjukkan jurang kemiskinan yg semakin menganga lebar di berbagai belahan dunia, semakin eksesifnya praktek korporatokrasi berakibat penumpukan kekayaan pada segelintir orang.
Data Oxfam juga menunjukkan kekayaan 8 orang pemilik korporasi internasional berbanding lurus dg jumlah kekayaan separoh penduduk dunia.
Terjadi pula pergeseran tata nilai politik, konsepsi demokrasi yang semustinya berorientasi pada rakyat menjadi berorientasi pada korporasi.
Hukum besi oligarkhi telah menciptakan ‘corporate state’, bahkan dengan daya dukung penggunaan perkembangan teknologi di dunia politik dan pertahanan melalui ‘Artificial Intelligent Drone Weapons’ mengakibatkan seluruh sektor dari produk kebijakan politik baik eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah hamba sahaya di hadapan para pemilik modal dan korporasi.
Dalam beberapa waktu ke depan, MAR akan terus mengajak seluruh stakeholder PAN untuk ‘berfikir strategis’ dan mondial atas situasi kondisi kekinian dan kontemporer, lebih dari itu MAR juga hendak mengajak untuk ‘bertindak taktis’, sesuai konteks kemampuan, peran dan lingkungan yang kita hadapi masing masing.
Dalam konteks PAN, tentu bacaan terhadap situasi kondisi objektif global dan nasional, serta kemampuan menilik kondisi subjektif partai secara nasional dan lokal di masing masing wilayah akan menjadi ‘daya hidup’ partai yang terus menerus bergerak ke arah kemajuan.
Sebagaimana dalil, ‘Hari ini harus lebih baik daripada kemarin, besok harus lebih baik daripada hari ini’. Perubahan yang dikehendaki bukan semata-mata pada nilai yang otonom, melainkan pada konsekuensi-konsekuensi yang dilahirkannya.
Aksioma perubahan seperti itu penting dikemukakan karena objeknya adalah partai politik, yang ukuran baik buruknya tak sekadar normatif ontologis, epistemologis, dan matematis hasil elektoral kediriannya, melainkan juga aksiologis, sejauh mana ke’manfaatan’nya bagi seluruh stakeholder partai dan masyarakat.
Sebagaimana selama ini kita mendapatkan pelajaran penting yang bisa kita ambil dari Barisan Para Mantan Ketua Umum PAN yang telah menjadi suri tauladan terbaik bagi partai dengan warisan kepemimpinan pada periode masing-masingnya.
Hal itu sejalan dengan fungsi dan peranan partai politik, yang disebut Thomas Meyer sebagai elemen terpenting dalam demokrasi, yang menggabungkan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan mengubahnya menjadi program politik yang konkret.
Hajatan dan Partisipasi Demokrasi
Di semua belahan dunia, para pemimpin mengklaim bahwa mereka berkuasa berdasarkan prinsip-prinsip demokratik yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Para pemimpin Soviet menyebut negara-negara Eropa Timur sebagai Negara ‘Demokrasi Rakyat’ . Cina daratan menyebut dirinya ‘Republik Rakyat China’. Korea Utara menyebut rezim mereka dengan ‘Republik Demokrasi Rakyat Korea’. Para pemimpin Afrika juga menyebut rezim-rezim mereka demokratik. Bekas Presiden Ghana Kwame Nkrumah, suatu ketika mengatakan: “Masyarakat Ghana dilihat dari bentuk maupun tradisinya secara fundamental memiliki kharakteristik demokratik.”.
Termasuk Indonesia di era terakhir rezim Soekarno dikatakan sebagai negara demokrasi yang disebut ‘Demokrasi Terpimpin’. Pada era rezim Orde Baru muncul pula istilah Negara ‘Demokrasi Pancasila’. Jika kita ikuti akan kita ketahui sederet panjang istilah klaim demokrasi mulai dari “demokrasi konstitusional”, “demokrasi liberal”, “demokrasi rakyat”, sampai dengan “sentralisme demokratik”, dan lain-lain.
Apapun klaim-klaim itu, yang jelas hal ini menandakan ideology demokrasi memiliki pengaruh yang luas, kendati seringkali ditafsirkan dan dipraktikkan secara berbeda-beda. Kuat kecenderungan demokrasi semakin memikat untuk dijadikan acuan dalam system politik tidak hanya banyak negara, tetapi juga berbagai organisasi social dan politik. Tercatat bahwa saat ini sekitar 62% dari 119 negara di dunia yang menjalankan demokrasi. Padahal pada tahun 1900 tidak ada satu Negara pun yang menerapkan apa yang sekarang dikenal orang sebagai demokrasi itu.
Dalam arti sempit, demokrasi, seperti dikatakan Schumpeter, merupakan sebuah metode politik, yakni mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga di beri kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Sementara dalam pengertian secara komprehensif, gabungan antara pandangan liberal dan tradisi Marxian, bahwa demokrasi berarti setiap orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya, yaitu mereka harus memperoleh hak yang sama (dan karena itu juga kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka. Prinsip-prinsip inilah yang disebut sebagai democratic autonomy yang membutuhkan baik akuntabilitas dalam derajat yang tinggi maupun partisipasi dari civil society (Sorensen, 2003: 14-15).
Dalam hubungan ini, demokrasi tidak dirancang secara khusus demi efektifitas dan efisiensi, tetapi juga demi akuntabilitas dan partisipasi. Sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, meskipun terlalu lambat tidak juga berarti abai terhadap keinginan publik, namun dalam setiap pengambilan tindakan bisa dipastikan adanya dukungan publik.
Dan demokrasi semestinya juga bukanlah produk yang telah selesai, melainkan sesuatu yang terus bertumbuh-kembang (Urofsky, 2001:2).
Oleh karena terus berproses maka demokrasi pun selalu mendapat tantangan. Salah satu tantangan itu adalah tidak sekedar kesediaan tapi juga tanggung jawab rezim yang berkuasa untuk membuat system yang memasukkan kelompok yang dimarginalkan ke dalam praktik demokrasi yang lebih inklusif (Mar’iyah, 2005:2).
Pemahaman dikotomik tentang demokrasi antara kubu procedural dan substansial tersebut bukanlah perbedaan yang tajam dan saling bertentangan. Dalam uraian yang menarik, Pabottinggi (2007) menyebutkan bahwa antara kedua kubu atau perspektif itu bersambung satu sama lain. Hampir semua ahli yang menekankan pentingnya esensi atau substansi tak pernah menomorduakan niscayanya prosedur demokrasi.
Pada yang prosedural sekalipun terkandung yang esensial. Ini berarti bahwa rangkaian proses politik dalam demokrasi diadakan dan dijalankan pertama kali untuk menjunjung yag esensial.
Inti dari keadilan prosedural adalah distribusi kekuasaan, dan dalam konteks inilah, seperti dikatakan Tornquist (2007), bagaimana demokrasi menjadi bermakna, yakni demokrasi yang bisa bekerja dan cukup substansial sehingga dapat bermakna bagi semua.
Demokrasi diperkenalkan sebagai sebuah system politik memang berasal dari barat. Ia kemudian dibangun secara pesat sebagai suatu rangkaian institusi dan praktik berpolitik yang sejak lama dilaksanakan untuk merespons perkembangan budaya serta berbagai tantangan social dan lingkungan di masing-masing negara.
Ketika mulai di transplantasikan ke dalam negara-negara non Barat dan beberapa negara bekas jajahan yang memiliki sejarah dan budaya yang berbeda, demokrasi tersebut memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang berbeda.
Bahkan menurut Scalapino, ketika institusi dan proses politik demokrasi dipinjam oleh masyarakat Asia, misalnya, usaha untuk mencocokkannya dengan kebudayaan asli merupakan pekerjaan yang berat (Chee, 1994:7).
Musyawarah dan Strategi Konsolidasi Partai
Proses pemilihan langsung melalui pemungutan suara dalam perkembangannya di Indonesia memang memberikan kenyataan yang plus-minus dalam kehidupan politik. Di satu sisi, ia merupakan wujud implementasi demokrasi yang elegan serta memberi peluang luas bagi partisipasi politik dari siapapun. Ia juga diyakini dapat mendorong pelaku kekuasaan untuk memiliki akuntabilitas yang tinggi dan responsive terhadap persoalan masyarakat pemilihnya.
Di sisi lain, praktiknya ternyata masih berbicara lain, Ia masih banyak kekurangan dan terkadang dimanipulasi dan diselewengkan oleh sebagian kalangan yang ingin mengambil keuntungan melalui proses-proses demokratis tapi dengan niat-niat politik jahat yang jauh dari prinsip-prinsip nilai demokratis itu sendiri.
Tetapi kekurangan tersebut bukanlah karena kesalahan demokrasi itu sendiri, sehingga ia tidak dapat di tuding sebagai biang kerok ketidak-beresan, melainkan lebih sebagai konsekuensi dari masih berprosesnya masa transisi demokrasi. Karena kita juga sedang memulai dan belajar berpraktik dengan cara demokratis. Meskipun juga kekurangan–kekurangan serta hadirnya berbagai praktik yang berseberangan dengan etika dan moralitas politik tidak harus membuat lembaga dan proses demokrasi itu dibunuh. Yang diperlukan adalah menyempurnakan secara terus-menerus berbagai aturan main didalamnya, bukan dengan membunuhnya.
Fenomena yang menjadi pemandangan kurang elok dalam proses pemilihan melalui pemungutan suara diantaranya adalah permainan politik uang, dalam konteks konsolidasi partai, bukan rahasia lagi fenomena itu kerap terjadi pada saat pemilihan Ketua dan juga pada saat pemilihan formatur -yang biasanya bertugas membantu Ketua terpilih untuk menyusun kepengurusan organisasi-.
Jumlah uang beredar dalam momen konsolidasi organisasi seperti itu bisa mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah untuk satu propinsi, dan puluhan sampai ratusan juta untuk satu daerah.
Sedangkan disisi lain kebutuhan untuk mengelola organisasi politik, mulai dari melaksanakan konsolidasi dan koordinasi, sampai dengan pelaksanaan program pemenangan pemilu tentu membutuhkan jumlah uang dan logistik yang boleh dibilang tidak sedikit.
Sangatlah wajar jika beberapa kalangan berpendapat dari sudut pandang bisnis dan keuangan profesional, ternyata mengelola organisasi politik (baca: parpol) dengan kultur yang semacam itu, di luar logika dan kaidah berfikir manajemen yang benar. Ibarat Jin, permainan politik uang itu barangnya memang tak keliatan tapi tidak jarang bisa membuat orang kesurupan.
Tidak sedikit pula kader-kader partai politik yang lebih memilih dan mengedepankan calon-calon yang memiliki modal ekonomi kuat, tetapi kurang menimbang calon pemimpin dengan modal kemampuan politik dan habitus kepemimpinannya.
Fenomena lain yang juga menjadi pemandangan kurang elok dan selalu membayangi mekanisme pemilihan seperti itu adalah konflik yang terjadi pasca pemilihan.
Atas dasar persoalan agar proses demokrasi internal partai tidak dicederai oleh pemandangan kurang elok tersebut, serta upaya untuk membuat proses konsolidasi organisasi partai menjadi lebih substantif, efektif dan efisien dalam arti terhindar dari praktek politik uang dan konflik yg berakibat pembelahan partai, maka metode ‘musyawarah’ sekiranya perlu dipertimbangkan menjadi pilihan jalan alternatif demokratik daripada model pemungutan suara, karena ternyata mudlaratnya di anggap lebih besar dari pada manfaatnya.
Dalam kerangka desain strategi konsolidasi dengan pendekatan jalan alternatif demokratik, penerapan metode musyawarah diharapkan dapat memunculkan figure kandidat yang benar-benar bisa diterima dan memiliki kemampuan menjawab tantangan lima tahun yang akan datang. Pun yang dilakukan pemimpin tak kalah pentingnya untuk selalu dan tetap mengacu pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah demokratik dalam mengemban amanat dan cita-cita perjuangan partai.
Perilaku kekuasaan cenderung bergerak dalam kerangka kepentingan elit, karena itu memerlukan check and balances dan partisipasi kader. Praktik demokrasi harus dijauhkan dari pola “demokrasi kaum penjahat”. Kita tentu tidak menginginkan partai yang lahir dari rahim reformasi, secara perlahan dan tanpa sadar tersusupi praktek dan pola-pola demokrasi ala kaum penjahat.
Praktik kekuasaan tanpa pertanggung-jawaban sesungguhnya juga mengandung siasat kaum penjahat sehingga terkadang sulit ditembus, kebal kritik, dan sampai tingkat tertentu juga menggunakan instrument kekerasan dan pemaksaan dalam melegalkan kebijakan-kebijakannya.
Semoga Allah menghindarkannya.
Selamat bermusyawarah dan berkonsolidasi guna menyongsong haraPAN baru………….
*Wakil Sekjend DPP PAN