Kisah Pilu Guru Honorer, Gaji Minim di Daerah Terpencil Hingga Tercoret dari Bosda

Penjor.id – Keberadaan guru honorer atau PTT selalu menyodorkan cerita yang membuat kita mengelus dada karena nelangsa. Miris memang, namun itulah kenyataan yang terjadi pada saat ini. Pemerintah pun seolah tak sanggup lagi mengurus keberadaan mereka.
Seolah tersisih dari dunia pendidikan, para pahlawan tanpa tanda jasa itu harus berjuang seorang diri di tengah ketidakpastian.
Bimbang memilih antara kebutuhan hidup yang semakin mendesak dan kewajibannya sebagai seorang pendidik.
Beberapa kisah perjuangan mereka di bawah ini, menunjukan betapa kerasnya dan susahnya mengarungi hidup sebagai guru honorer.
Mengabdi di daerah terpencil dengan gaji minim
Abdul Khalik menjadi guru di pelosok Maros, Sulawesi Selatan, sejak
tahun 2014. Niat tulusnya mengabdi tidak pernah goyah meski menerima honor
‘hanya’ 250 ribu per bulan.
Khalik mengajar tepatnya di Madrasah Ibtidaiyah DDI Hidayatullah yang terletak
di Kampung Bara-baraya, Desa Tanete Bulu, Kecamatan Tompobulu, Maros, Sulawesi
Selatan. Pria kelahiran tahun 1991 itu, tak pernah lelah mengasuh puluhan murid
yang ada di kampung terpencil itu. Padahal, Khalik tinggal di areal kota Maros,
tepatnya di Kelurahan Pettuadae, Kecamatan Turikale. Jarak antara tempat
mengajar dengan rumahnya bahkan lebih dari 30 kilometer.
Gaji itu diterima Khalik setiap tiga bulan sekali dari pihak yayasan. Baginya, membuat anak-anak bisa terus mengenyam pendidikan lebih penting dari sekadar imbalan.
Setiap kali pergi mengajar, anak kedua dari tujuh orang bersaudara ini berangkat dari rumahnya menggunakan sepeda motor yang sudah mulai rusak termakan usia. Dengan menempuh jalur yang cukup sulit, motornya ia simpan di rumah warga, lalu Khalik berjalan kaki sejauh 5 kilometer menuju perkampungan Bara-baraya.
“Saya mengajar itu mulai tahun 2014 sampai sekarang. Kalau dari
rumah saya itu jaraknya lebih 30 kilo lah. Karena tidak bisa naik motor langsung,
ya motor saya simpan di kampung sebelah, baru saya jalan kaki. Jaraknya itu
sekitar 6 kilometer,” kata Khalik sebagaimana dilansir detikcom.
Kisah Khalik hanyalah salah satu dari banyak kisah para pengabdi yang tersebar hampir di seluruh pelosok di negeri ini.
Jual Es Tebu Karena Gaji Guru Tak Menentu
Sebagai guru honorer yang mendapatkan penghasilan di bawah UMK membuat Thoifin harus berjualan es tebu untuk menambal kebutuhan keluarga.
Guru honorer di SD Guwosobokerto 1 Kecamatan Welahan ini, setiap hari usai mengajar berjualan est tebu di pertigaan depan Puskesmas Welahan II.
“Awalnya saya bingung usai nikah gaji jelas tidak cukup , padahal hutang juga sduah banyak. Namun saudara ada yang ngasih solusi untuk berjualan es tebu . Alhamdulillah dengan pinjaman modal sebesar Rp 5 juta rupiah saya buka usaha jual es tebu ini “, papar Thoifin.
Tak sanggup membeli sepatu
Entah sampai kapan Samiyati harus menunggu agar dirinya diangkat statusnya menjadi PNS. 20 tahun lamanya ia berbakti sebagai tenaga pendidik, namun nasibnya tak kunjung membaik. Dilansir dari regional.kompas.com, gajinya yang berkisar Rp 300 ribu hingg Rp 500 ribu, membuat Samiyati harus pontang-panting menghidupi ketiga anaknya. Saking susahnya, ia kerap menggadaikan sepeda motor sekedar untuk menutup biaya kebutuhan sehari-hari hingga tak mampu membeli sepatu. Perempuan 40 tahun ini bahkan rela memakai sepatu lamanya yang usang dengan kondisi lem terkelupas pada beberapa bagian.
Dicoret dari Bosda
Samiyati, salah seorang guru honorer di Kabupaten Ende, merasa lega saat namanya masuk dalam daftar nama guru tidak tetap (GTT) pada 2019.
Di tahun yang sama, ia mendapatkan insentif tambahan dari pemerintah melalui biaya
operasional sekolah daerah ( Bosda) selama 4 bulan.
Bosda adalah janji politik pemerintah daerah terhadap guru honorer yang dimulai pada 2018. Sesuai kebijakan tersebut, guru honorer di pedalaman mendapatkan Rp 1.500.000, guru honorer di wilayah terpencil mendapatkan Rp 1.100.000, dan guru honorer yang ada dalam kota mendapatkan Rp 700.000.
Pada Februari 2019, Samiyati diminta pihak Dinas Pendidikan untuk memasukkan data guru tidak tetap (GTT). Namun, ternyata nama Samiyati dan beberapa guru lain yang terdaftar sebagai GTT dicoret dari daftar penerima Bosda dalam tahun anggaran 2019.
“Saya baru diberi tahu oleh kepala sekolah bahwa nama saya tiba-tiba tidak dimasukkan dalam daftar GTT yang akan menerima insentif tahun 2019. Ke manakah kami yang tidak digaji selama 11 bulan ini. Nama kami tidak muncul di daftar penerima Bosda 2019, bagaimana sudah nasib kami ini pak,” kata Samiyati sambil menangis//cw