Njajan Semanggi di Jalanan Surabaya
“..harganya sangat murah, sayur semanggi suroboyo didukung serta dijual, masuk kampung, keluar kampung bung..”
Penjor.id – Minggu pagi ini, sedikit melanggar himbauan #stayathome, penjor keluar rumah untuk njajan semanggi. Tak jauh dari tempat tinggal, tempat seorang bakul semanggi biasa mangkal. Tepatnya di trotoar Jalan Soekarno-Hatta, sekitar Rungkut Asri, Surabaya.
Indarti nama penjualnya. Ia berjualan di tempat yang biasa dipakai kakaknya berjualan makanan yang sama. Indarti sebelumnya berjualan semanggi di depan Gereja Roh Kudus, Puri Mas, setiap Minggu pagi. Karena merebaknya covid-19, gereja tutup. Perempuan 38 tahun itu pun terpaksa bergeser ke tempatnya sekarang.
“Biasanya kalau hari Minggu mbak saya yang jualan . Ini karena gereja tutup ganti saya yang di sini,” kata Indarti.
Seperti namanya, makanan khas Surabaya ini memang berbahan daun semanggi, tanaman air yang banyak ditemui di persawahan. Untuk menjadikannya sajian kuliner nikmat, hanya cukup direbus, dicampur kecambah yang juga direbus, dan siraman bumbu.
Bumbunya berupa olahan ubi rambat yang ditumbuk halus dan dicampur kacang tanah. Disantap dengan kerupuk puli atau kerupuk beras, rasanya nikmat, membuat siapapun yang pernah menyantapnya, kangen menikmatinya lagi.
Sekilas penyajian semanggi mirip pecel, disajikan dengan piring dari daun pisang atau yang biasa disebut pincuk. Bila ingin pedas, pada bumbu bisa ditambahkan sambal sesuai selera.
“Bumbu aslinya olahan ubi rambat dan kacang tanah. Tapi saya juga sedia petis, untuk lebih menyedapkan rasanya,” jelas perempuan berkerudung tersebut.
Selain nikmat, banyak manfaat yang bisa didapat dari menyantap semanggi. Beberapa penelitian menemukan bahwa tumbuhan ini mengandung zat yang dapat membantu mencegah terjadinya osteoporosis pada perempuan pascamenopause.
“Banyak yang bilang semanggi bisa memperkuat tulang, Mas. Agar tidak cepat keropos, terutama buat perempuan,” imbuh perempuan yang tak pernah melepas maskernya saat berjualan itu.
Keistimewaan pecel semanggi yang tidak ditemukan di daerah lain membuat makanan ini mendapat perhatian lebih dari pemerintah kota. Walikota menyediakan lahan khusus di Sememi untuk budidaya semanggi.
Dulu para penjual semanggi harus mendatangkan daun-daun semanggi dari daerah sekitar, seperti Lamongan dan Gresik. Sekarang mereka lebih mudah mendapatkannya, dari lahan yang dikelola sendiri.
“Suami saya juga ikut bertanam semanggi. Jadi saya lebih mudah mendapatnya,” ungkap wanita yang biasa dipanggil Bu Iin tersebut.
Pukul 5 pagi, Indarti sudah berangkat untuk berjualan. Naik motor dari rumahnya, Desa Kendung, Benowo, Surabaya. Namun beberapa penjual semanggi lain menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki hingga berkilo-kilo meter. Mereka menyusuri pertokoan, kampung, juga perumahan-perumahan elit di Surabaya.
Di punggung, gendongan yang beratnya tak kurang dari 20 kilogram, menemani perjalanan mereka. Persis seperti penggalan syair lagu keroncong ‘Semanggi Suroboyo’ karya S. Padimin di atas.
Mereka baru pulang seiring terbenamnya matahari. Bila nasib sedang bagus, sekitar 50 pincuk semanggi yang ada di gendongan, bisa habis semua. Sepincuk pecel semanggi plus kerupuk mereka jual dengan harga Rp. 10 ribu.
“Sekarang agak berat, Mas. Karena virus, jadi jarang yang beli. Saya juga terpaksa jualan. Bagaimana lagi, biar hasil sedikit yang penting ada rejeki,” kata Indarti.
Kebanyakan penjual semanggi gendong berasal dari satu desa dengan Indarti. Dengan menggunakan angkutan umum, para ibu perkasa itu turun di dekat halte bis Kupang. Kemudian berpencar sesuai ‘wilayah operasi’ masing-masing.
Saat ini ada beberapa penjual semanggi yang mangkal di beberapa tempat di Surabaya. Seperti di Taman Bungkul, Jalan Dempo, atau di depan kantor lama Jawa Pos, Karah Agung. Bila susah menemukan penjual semanggi gendong, bisa juga menyantapnya di beberapa resto di Surabaya. Tentu dengan harga yang jauh lebih mahal, dua hingga tiga kali lipat dibanding semanggi gendong.
Namun keeksotikan menikmati makanan tradisional ini tentu lebih terasa bila menemukan yang gendongan. Bisa di-andok, istilah Surabaya untuk makan di tempat, atau dibungkus di bawa pulang.
“Dibungkus juga bisa, Mas. Nanti bumbunya saya pisah,” ujar Indarti. HK.