Lusa Disahkan, Benarkah RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan Berpihak Pada Petani?
Penjor.id – Rencananya, pada 24 September 2014 mendatang, melalui Rapat Paripurna, DPR RI akan mensahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
Undang-undang ini mengatur perencanaan budidaya pertanian, perbenihan dan penanaman, perlindungan dan pemberdayaan petani, dan lain-lain.
Ketua Panitia Kerja Komisi IV, Daniel Johan, memastikan bahwa RUU ini dibuat untuk memajukan pertanian Indonesia. “Jangan sampai UU ini menjadi dasar untuk melakukan kriminalisasi terhadap petani. Kita tidak hanya mendukung petani kecil, tetapi juga seluruh petani di Indonesia,” ujar Daniel.
“Definisi petani kecil (di RUU) sangat sempit, yakni mereka yang sehari-hari bekerja di sektor pertanian yang penghasilannya hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara jumlah petani dengan penghasilan lebih dari itu sangat banyak,” jelas Daniel.
Namun, Sekjen Aliansi Petani Indonesia (API), Muhammad Nurudin, punya pandangan lain soal ini. Ia menyatakan tidak setuju jika RUU ini disahkan pada 24 September mendatang.
Menurutnya isi RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan belum mengakomodasi hak petani. “Yang dikuatkan bukan hak petani sebagai pemulia, tetapi pengaturan ketat tentang pemuliaan,” ujar Nuruddin. Pemuliaan adalah proses persilangan tanaman untuk mempertahankan kemurnian atau menciptakan varietas baru.
Sementara itu, Nuruddin mengatakan bahwa RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan di Indonesia belum secara spesifik mengatur hak petani. Pergerakan petani pun masih dibatasi.
Petani kecil hanya dapat mengedarkan varietas hasil pemuliaan mereka secara terbatas dalam satu kelompok, itu pun mesti melapor terlebih dahulu kepada Pemerintah Daerah (Pasal 23). Jika melanggar ketentuan tersebut, petani kecil dapat dikenakan sanksi administratif (Pasal 108).
Nuruddin mengatakan petani seharusnya punya hak melakukan proses pemuliaan tanpa wajib melaporkan ke Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. “Jika petani tidak melaporkan (hasil pemuliaannya), akan kena denda. Padahal itu kan hak petani. Profesi petani membuat mereka punya hak untuk melakukan budidaya pertanian. Itu yang kami protes,” jelas Nuruddin.
RUU ini mengandung peraturan yang tidak jauh berbeda dari Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Undang-undang ini pernah digugat oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), Bina Desa, Aliansi Petani Indonesia (API), dan serikat-serikat petani lain pada 2013 karena mengandung pasal-pasal yang rentan mengkriminalisasi petani.
Menurut UU ini, petani yang mengumpulkan plasma nutfah tanpa izin, mengedarkan hasil pemuliaan, atau mengedarkan benih bina dapat dipidana dengan penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp250.000.000,00.
Ketua Serikat Petani Indonesi saat itu menganggap undang-undang ini berpihak pada kepentingan perusahaan benih besar karena petani dibuat bergantung terhadap benih hasil produksi mereka. Akibatnya, keragaman benih jadi berkurang dan banyak benih yang tidak cocok dengan karakteristik sawah di desa yang berbeda-beda.
Gugatan yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi ini membuahkan hasil. Diputuskan sebagai perkara No. 99/PUU-X/2012, pasal-pasal tersebut dikatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, peraturan yang telah dibatalkan oleh MK ini dimunculkan kembali dengan beberapa evaluasi: petani dapat mengedarkan hasil varietas mereka secara terbatas ke satu kelompok. Kelompok sendiri didefinisikan sebagai gabungan petani yang berada dalam satu wilayah yang sama.
Walaupun ada kemajuan dari UU No. 12 Tahun 1992, Nuruddin menganggap petani tetap rentan dihajar. Ia mencontohkan kasus Munirwan, petani Aceh yang inovasi benihnya membuat ia ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Ia dianggap telah memperdagangkan dan menyalurkan produk benih padi yang belum disertifikasi oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh.
Nuruddin mengatakan pemerintah wajib melakukan pembinaan kepada para petani sebelum RUU ini diberlakukan. “Kalau petani wajib melaporkan hasil pemuliaannya, berarti pemerintah harus menyiapkan anggaran untuk melakukan pembinaan kepada petani-petani penangkar benih. Selama itu nggak terjadi, akan muncul kasus-kasus seperti Pak Munirwan lagi,” tegas Nuruddin.//sumber:permata adinda