Membredel Tempo 4.0 dengan Pola Baru
REFLEKSI SEORANG WARTAWAN TEMPO
Semalam, kawan-kawan di kantor, dalam sebuah grup diskusi, mengabarkan bahwa aplikasi digital Tempo di Play Store telah raib. Hilang dengan jejak terakhir dipenuhi komentar caci-maki. Saya sempat mengecek, dan memang benar lenyap. Rumah digital yang masih terhuyung-huyung menata panggung industri digital 4.0 itu, seketika runtuh hanya dalam beberapa hari.
Dalam sepekan ini, Tempo dicaci pasukan siber karena menerbitkan ilustrasi bayangan pinokio di gambar Jokowi. Tempo telah menegaskan bahwa dalam terbitan sampul Majalah Tempo Edisi 16-22 September 2019 sama sekali tak bermaksud menghina kepala negara sebagaimana yang dituduhkan. “Yang tergambar adalah bayangan pinokio,” kata Redaktur Eksekutif Majalah Tempo Setri Yasra.
Tapi sepertinya mereka tak butuh penjelasan dengan cara-cara yang dialektik. Orang-orang maya itu hanya butuh sebuah argumentasi -yang belum tentu obyektif- untuk memanipulasi kesadaran publik. Tentu dengan mengenyahkan fakta-fakta lain. Kita sederhanakan itu dengan sebutan kelompok “post truth”. Intinya pasukan mereka ingin melampiaskan amarah karena Tempo telah berani mengkritik pujaannya secara lugas.
Maka tak heran kita melihat sejumlah tokoh politik dan kawan-kawannya menyerang Tempo di Twitter dengan menyebut Majalah Tempo telah menghina simbol negara. Bahkan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menemukan bahwa pasukan siber disokong pendanaan dengan memberi giveaway kepada siapapun yang menanggapi cuitan yang menyerang KPK dan Tempo. Meski pada akhirnya kita tahu, mereka hanya menyajikan logika sungsang karena presiden bukan termasuk dalam kategori simbol negara.
Buzzer juga menyerang kolom komentar penilaian aplikasi digital Tempo di Play Store. Komentar dibanjiri caci-maki yang membuat ratingnya anjlok hingga 1.1. Dimungkinkan mereka juga melakukan “report” massal ke Google, karena berimplikasi pada lenyapnya aplikasi Tempo. Di dunia startup, review dan rating yang positif adalah barang mewah bagi developer untuk mengembangkan aplikasi.
Bagi saya, kelompok post truth bukan saja menyerang produk jurnalistik, tapi juga terang-terangan berupaya melumpuhkan bisnis media. Ini semacam bentuk kejahatan baru yang bertujuan merintangi kebebasan pers. Di mana penguasa tak lagi menggunakan kaki tangan negara sebagai alat politik untuk membungkam pers, tapi telah berwujud buzzer yang siap membunuh dengan cara-cara yang sangat kekinian. Saya belum tahu teori apa yang layak disematkan untuk peristiwa ini.
Meski begitu, kita perlu ketahui bersama, Tempo hanyalah sebuah media yang berupaya menyajikan produk jurnalistik dengan cara merdeka dan independen. Independensi juga menyangkut struktur kepemilikan saham mayoritas yang tidak dikuasai oleh pemilik modal tertentu. Itulah ruh yang membuat Tempo terus hidup dari masa ke masa, melalui berbagai rezim. Tempo pernah dua kali diberedel Orde Baru, pernah dilempar molotov, pernah didemo oleh kelompok agama, dan kini hendak “dibangkrutkan” pasukan siber.
Pada akhirnya kenapa mereka perlu marah, apalagi hanya pada ilustrasi Tempo, dan bukan justru atas isi pemberitaannya? Karena pasukan itu sadar, terlalu lemah untuk membantah sebuah fakta yang obyektif. Majalah, Koran Tempo, maupun Tempo.co telah lugas menuliskan bagaimana lobi-lobi partai politik untuk meloloskan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, kemudian membahas revisi UU KPK yang bertujuan melemahkan lembaga antirasuah. Apalagi, kita semua tahu, presiden menyutujui pembahasan terhadap tragedi yang hanya berlangsung 13 hari tersebut. Sampai ketuk palu parlemen berbunyi, “Tok!”