Menata Tuban ke Depan Dibutuhkan Pola Kolaborasi, Bukan Kompetisi Apalagi Cara Amputasi

Oleh Agung Supriyanto SH.*

Syahwat politisi ketika mamasuki arena permainan pasti berharap kemenangan. Ini sangat dimaklumi karena bermain apapun saat melakukan pertarungan target yang diraih adalah juara (compete for champion) .
Sebelum bertarung di kancah permainan, agar tidak gagap menjadi politisi seharusnya dibekali literasi yang cukup yaitu bermodal penguasaan tentang kesejarahan, kaidah moral, norma hukum, maupun penguasaan politik dalam konteks “permainan”. Mengapa? Karena tidak mungkin akan menjadi petarung politik yang matang dan profesional bila lemah penguasaan terhadap literasi tersebut.
Diantara literasi diatas sebagai determinasi penentu arah kemenangan adalah melihat politik dalam perspektif “Permainan”, karena dengan pendekatan permainan kasunyatan politk dapat dipotret lebih jelas dan realitis. bukan dari perspektif menara gading.
Hal ini diperkuat oleh “Willian Stephensen” bahwa nyawa pemenangan berpolitik kekuatannya ada pada ranah ” Permainan.” menurut thesisnya melalui permainanlah para politisi dapat leluasa mengeksplorasi membangun pencitraan, melakukan manufer yang menggairahkan pikiran, serta dengan permainan bisa membuat suasana yang menyenangkan sekaligus juga memberi kejutan.
Dari segala bentuk jenis permainan saat politisi memenangkan pertarungan harapan kita endingnya adalah diperuntukan kemaslahatan bagi masyarakat. Dan itu semestinya dilakukan oleh politisi Karena dia diberi ruang bermain oleh negara dengan Tujuan semata mata sebagai instrumen menata pranata sosial yang lebih baik.

Amputasi, Kompetisi atau Kolaborasi
Banyak jenis dan pola Permainan yang dilakukan politisi agar gool dapat tercipta. yaitu dengan model ” Berkolaborasi, Berkompetisi maupun cara Amputasi “.
Pilihan bermain dengan cara ” Amputasi ” biasanya dimainkan saat rezim kolonialis. Rezim ini punya pakem baku siapa yang memenangkan permainan dialah sebagai penentu dan penguasa segalanya. “homo homini lupus” siapa yang kuat itulah yang menguasai permainan, maka siapapun yang hendak mengkritisi kekuasaan atau bahkan ingin merebutnya, dipastikan akan mendapatkan hukuman dengan cara diamputasi. Atau Istilah yg terkenal dengan 3 D. yaitu Dibunuh, Dibuang dan Dibui.
Pola bermain yang demikian dinamika permainan politik praktis monoton, karena penguasaan hanya pada satu pemain, sedangkan yang lain harus tunduk dan patuh serta semua serba terkontrol.
model bermain amputasi selaras sebagaimana di ilustrasikan oleh seorang filsof “Macheavelli”. Menurutnya, cara mengendalikan permainan tidak dibutuhkan membagi dan menabur dengan rasa Cinta, tapi selalu diberi sebaran rasa takut, karena hanya dengan cara itu pemenang mampu mengendalikan permainan.
Model ini banyak terjadi gugatan dan perlawanan, maka muncul era kebangkitan (renaissance). Pelopor yang menginspirasi lahirnya era kebangkitan yaitu Rene Decartes dan Adam smitt, seorang filsof social politik dan ekonomi yang punya diktum bahwa apabila berharap memajukan masyarakat, pemenang atau penguasa tidak usah terlampau mengontrol pemain. berilah ruang individu untuk “berkompetisi” dan bila itu dapat dilakukan maka ekonomi masyarakat bisa tumbuh dan sistem demokrasi politik dapat berjalan.
Realitasnya justru pola berkompetisi melahirkan oligarki ekonomi dan politik yang berbuntut kekuasaan untuk menguasai. Jargon “laizzer faire laizzer passer” memproduksi para kapitalis yang anti pemerataan ekonomi. kondisi pasar terhegonomi dan dibuatlah pola ketergantungan yang sebagian besar masyarakat didesain agar jangan sampai pertumbuhan ekonomi melampui standarisasi yg sudah ditentukan. Akibatnya mucul indeks gini atau kesenjangan ekonomi yang menganga.
Geopolitik dan ekonomipun nyaris sama. Pola permainan “berkompetisi” dibalut dengan demokrasi melahirkan oligarki politk yang dikuasai oleh sebagian orang saja. Dan Lebih eronis sebagian kecil orang tersebut adalah para kapitalis yg telah dimanjakan karena pola kompetisi dalam sistem demokrasi.
Tuban Butuh Pola Berkolaborasi
Kolaborasi (Collaboration) adalah salah satu jenis permainan politik yang pola bermainnya mengutamakan membangun kerja sama untuk berbagi. Tidak ada monopoli dari salah satu pemain. Ini sesuai dengan falsafah budaya kita ” Berat sama dipikul ringan sama dijinjing “.
Kompleksitas pemangku kepentingan di Tuban meliputi representasi pelaku usaha, politisi, akademisi, organisasi agama dan masyarakat, serta berbagai komponen atau kepentingan yang lain pengaturan model permaianan “berkolaborasi” sangat tepat digunakan. karena dengan model berkolaborasi kepentingan para pemain dapat terakumudir, dan impactnya kesenjangan ekonomi dan politik dapat tereduksir karena semua pemangku kepentingan sudah terakumudir.
Mempertimbangkan permasalahan di Tuban masih banyak yang perlu ditangani terutama urusan pertumbuhan ekonomi, penekanan angka kemiskinan, dan pengangguran, maka Penyelesaian yg kompleks tersebut tertumpu pada satu komponen saja susah terselesaikan. oleh sebab itu melibatkan banyak komponen dengan penataan pola “berkolaborasi” sebagai solusi yang terbaik. Bahwa kemudian implementasinya ada dinamika ini bagian gimik gimik penyedap dalam berdemokrasi.
Akhirul kata dari narasi di atas stresingnya adalah agar Kabupaten Tuban ke depan dapat “Berubah” lebih baik, maka calon Bupati Tuban ke depan sangat dibutuhkan sosok Calon yang cerdas memainkan seni dalam mengelola kepentingan (the art of managing interest).
*Penulis adalah Anggota DPRD Jatim Dapil Tuban- Bojonegoro