Menikmati Pecel Pitik, Sajian Tradisi Suku Using

Penjor.id – Beberapa waktu lalu, saat ke Banyuwangi, saya diajak oleh Hasnan Singodimayan, berkunjung ke Kemiren. Sebuah desa yang namanya sudah sangat dikenal sebagai pusat budaya Using. Hasnan sendiri adalah budayawan dan tokoh adat suku asli Banyuwangi tersebut.

Salah satu tempat yang kami tuju adalah Pesantogan Kemangi, warung atau kafe dengan sajian andalan kuliner khas Banyuwangi. Nama warung ini berasal dari istilah setempat, ‘pesantogan’ yang berarti tempat nongkrong, dan ‘kemangi’, kependekan dari Kemiren – Banyuwangi.

Warung yang terletak sekitar 9 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi ini buka mulai pukul 11.00 WIB hingga 24.00 WIB. Terdiri dari 3 rumah khas Using yang, terbuat dari kayu dan dihias ornamen khas Banyuwangi, seperti kiling (kincir), angklung dan omprok (mahkota).

Dua rumah difungsikan untuk pengunjung menikmati sajian. Sementara satu rumah berukuran lebih besar sebagai tempat pentas. Di sini setiap malam Minggu memang digelar hiburan gamelan khas Kemiren. Pada waktu tertentu juga ada pentas Tari Gandrung dan Jaran Goyang.

Di Pesantogan Kemangi, pengunjung bisa menikmati makanan ringan seperti kucur, serabi, dan tape buntut. Untuk minuman, tersedia teh, beras kencur, temu lawak, dan kopi khas Kemiren yang biasa disebut ‘jaran goyang’.

Namun yang tak boleh dilewatkan tentu menu andalan yang merupakan makanan khas Suku Using, pecel pitik dan uyah asem. Pecel pitik berupa suwiran daging ayam kampung panggang dicampur bumbu parutan kelapa dan disajikan dengan alas daun pisang.

“Enak, gurih. Cocok buat teman nongkrong di sini. Saya beberapa kali ke sini dan pasti memilih menu andalan ini,” kata H. Sugiarto, seorang kawan dari Banyuwangi.

Pengiring Ritual

Menurut Hasnan, pecel pitik selalu hadir mengiringi setiap ritual atau selamatan. Kehadiran pecel pitik dipercaya sebagai sarana mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. Namun saat ini, pecel pitik bisa hadir kapan saja, seperti yang setiap saat tersaji di Pesantogan Kemangi.

Pecel pitik dianggap sebagai makanan yang sakral. Makanan ini dulu hanya disajikan saat acara adat tertentu seperti hajatan, selamatan, dan bersih desa,” jelas Hasnan.

Meski berbahan ayam atau pitik, nama pecel pitik sendiri sebenarnya merupakan sebuah ungkapan dari bahasa setempat, “diucel-ucel hang perkara apik”. Dalam Bahasa Indonesia, ungkapan itu berarti dilumuri dengan berbagai perkara yang baik.

Untuk membuat pecel pitik, dipilih ayam kampung yang masih muda. Setelah disembelih dan dibersihkan, kemudian dipanggang di atas perapian dalam keadaan utuh. Memanggangnya secara tradisional dengan api yang selalu dijaga agar daging tidak gosong dan matang secara merata.

Pecel pitik dibuat dari ayam kampung muda, kalau yang sudah tua dagingnya alot. Cara memasaknya dibakar supaya lemaknya hilang dan lebih gurih rasanya,” lanjut Hasnan.

Uniknya, sesuai tradisi Suku Using, orang yang memasak tidak boleh banyak bicara. Lebih baik diam sambil berdoa. Bila dibuat untuk hajatan tertentu, proses memasak pecel pitik menjadi bagian ritualnya.

Ayam yang telah selesai dipanggang kemudian dipisahkan antara daging dan tulangnya. Proses ini harus menggunakan tangan, tidak boleh menggunakan pisau atau alat lain. Daging ayam lalu disuwir-suwir atau disobek menjadi bagian kecil-kecil.

Bagian daging yang sudah disuwir dicampur dengan bumbu parutan kelapa. Kelapa juga dipilih yang belum terlalu tua dan dicampur dengan bermacam rempah. Ada kemiri, cabai rawit, terasi, daun jeruk, dan gula yang dihaluskan.

“Campuran tersebut yang membuat citarasa pecel pitik. Enaknya daging lembut ayam muda berpadu dengan gurihnya campuran parutan kelapa dan rempah-rempah,” kata Hasnan. HK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: