Di Tengger, Kuda Turut Memengaruhi Keharmonisan Rumahtangga

Penjor.id Di Tengger, jika memelihara kuda yang tidak sesuai dengan sifat dasar dan latar belakang pekerjaan keluarga, akan membawa masalah dan kesialan hidup.
Seperti kebanyakan menantu lain, Martono (36) merasa benar-benar bingung ketika tiba-tiba mertuanya tak pernah mengajaknya bicara sama sekali. Padahal ia merasa tak berbuat salah apa pun. Semuanya berjalan biasa-biasa saja.
Bahkan, dengan istrinya ia sama sekali tak pernah terlibat pertengkaran yang serius. Beberapa kali, Martono mengajak bicara, sang mertua tetap terlihat tak mengindahkannya. Istrinya pun tak mengerti dengan latar belakang serta penyebab orangtuanya bisa bersikap demikian terhadap suaminya.
“Semuanya berlangsung tiba-tiba dan saya jadi merasa nggak enak karena di sini tinggal bersama mertua,” tutur Martono yang tinggal di Desa Ngadisari yang terletak di dalam Kawasan Tengger.
Ia kemudian memutuskan pergi ke salah seorang dukun (tetua Tengger, red) untuk mengkonsultasikan hal tersebut.
Pak Dukun mengungkapkan jika yang menjadi biang memburuknya hubungan Martono dan mertuanya, ternyata adalah kuda.
Kok bisa kuda? “Kuda yang baru saya beli itu pamornya jelek, sumpet ati. Sesuai namanya, siapa yang memelihara kuda sumpet ati, keluarganya bakal selalu merasa tidak enakan satu sama lainnya. Kebetulan di keluarga saya, yang nggak enakan mertua saya dengan saya,” papar Martono.
Memang bagi rumah tangga di Tengger, kuda memiliki nilai lebih dari sekedar alat transportasi. Selain menjadi tabungan kala memasuki masa-masa sulit, kuda di tengger ternyata menjadi klangenan yang diakui bisa mempengaruhi perjalanan hidup seseorang.
“Pada awal-awal saya menikah, saya pernah memelihar kuda dengan pamor damar gantung. Wah, jangan ditanya soal rejeki saya saat itu. Setiap kali usaha atau kerja selalu saja mendatangkan untung. Damar gantung, artinya khan cahaya penerang, yang menurut orangtua bisa menerangi jalan kita ketika mencari rejeki,” papar Sukadi (50), tetangga dekat Martono, yang pada saat yang sama mendatangi rumah pak dukun untuk ‘berkonsultasi’ perihal kuda yang baru dibelinya dua hari sebelumnya.
Bagi warga Tengger yang diperlukan dari seekor kuda bukan sekedar kuat dan besar, namun juga hubungan batin yang terbentuk antara kuda dan pemiliknya. Pamor, seperti yang disebutkan oleh Martono ini biasanya ditandai oleh letak pusar di bagian badan kuda. Setiap letak pusar memiliki arti masing-masing serta penamaan berdasarkan pamor si kuda.
“Orang Tengger akan terus berganti kuda, menjualnya dan membeli kuda lain, sampai kemudian menemu kuda yang tepat. Yang kemarin saya jual itu termasuk kuda bagus, sandel warna gambir (kemerahan),” lanjut Sukardi.
Bagi masyarakat Tengger ukuran perjodohan dengan kuda itu sebenarnya sangat gampang, yakni jika setiap kali kuda dan tuannya mengais rezeki dari kunjungan wisatawan di lautan pasir, keduanya bisa membawa pulang uang.
Betapapun bagusnya penampilan atau ciri fisik kuda, katakanlah gambir, seperti yang diungkapkan Sukardi, jika tak bisa membawa pulang uang setelah beberapa lama bekerja di lautan pasir, pemilik akan menjual kudanya dan mencari kuda lain.
Namun rezeki di lautan pasir Bromo, ternyata bukan satu-satunya ukuran perjodohan lagi. Setidaknya, peristiwa yang menimpa Martono bisa membuktikan hal ini. Menurut pengakuannya, kudanya selama diajak mengais rezeki di lautan pasir, selalu bisa mendatangkan uang.
“Tapi, ya itu tadi, saya malah jadi seperti musuhan dengan mertua, karena pamornya sumpet ati. Meski mendatangkan rezeki, toh efeknya pada keluarga menjadi kurang baik, saya akan menjualnya,” aku Martono./cw