Muang Sangkal, Tari Penolak Bala dari Sumenep
Penjor.id – Minggu (20/10/2019) Siang, suasana Gedung Pertemuan Hotel Musdalifah, Kota Sumenep, tampak meriah. Hari itu sedang digelar Musyawarah Daerah (Musda) V Barisan Muda Penegak Amanat Nasional (BM PAN) Zona III. Selain kader-kader BM PAN se-Madura Raya, Musda juga dihadiri beberapa pengurus DPW PAN Jatim.
Suasana semakin meriah ketika tiga penari wanita muncul ke depan panggung. Membawa bokor berisi beras kuning, penari-penari cantik tersebut berlenggak-lenggok lemah gemulai diiringi bunyi rancak gending rarariri.
Itulah Muang Sangkal, tarian khas Sumenep yang sering ditampilkan untuk menyambut tamu. Namun lebih dari sekedar tarian penyambut tamu, Muang Sangkal mempunyai makna yang lebih dalam. Terutama semangat yang dikandungnya.
“Dalam Bahasa Madura Muang Sangkal itu berarti membuang balak atau kesialan. Artinya, menggambarkan sebuah harapan dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar terhindar dari segala bencana,” kata Putri Septya Lestari, salah seorang penari.
Menurut penciptanya, almarhum Taufikurrachman, gerakan Tari Muwang Sangkal mengambil ‘roh’ tari-tarian asli Kraton Sumenep, seperti tari gambuh yang halus atau tayub kraton. Sehingga tidak menyimpang dari pakem Sumenep.
“Tapi cengkoknya saya buat sendiri,” kata almarhum saat bertemu wartawan media ini beberapa waktu lalu di kediamannya, Jalan Jati Emas, Kota Sumenep.
Pimpinan Sanggar Bumi Joko Thole yang meninggal dunia November tahun lalu itu, memang berangkat dari latar-belakang seorang penari gambuh. Gerakan pakem Sumenep itu antara lain “tongkerena” (tunggurona), semacam gerak mangapurancang dalam tarian Jawa, atau ukel (memutar tangan).
Tari yang diciptakan pada 1990 itu dimainkan oleh penari-penari perempuan berjumlah ganjil; 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Menurut Taufik, jumlah ganjil itu semata untuk membuat pola lantainya indah.
Dalam menarikannya diiringi tabuhan gending Sumenep asli, rarari dan ayak, yang direkonstruksi dari gending jaman dulu. Aksesoris dan pakaian para penarinya dipengaruhi busana kebesaran kraton Sumenep, legha.
Aksesoris dan pakaian ini terdiri dari kalung kalamangga, sepasang klaq bahu berbentuk burung garuda, gelang tangan, buntal (untaian bunga dari daun-daunan), dan sepasang gelang kaki paleg obi (binggel) kuning emas.
Juga sampur kuning, kain panjang motif batik madura, mekak kembar (junjung tapek), serta rapek. Rapek adalah kain panjang sekitar 7 meter sebagai penutup pinggang, berwarna merah kuning (kapodang nyocok sare) atau kuning hijau (pare anom). Terakhir adalah odhet atau sampur pendek yang diikatkan dipinggang dan ujungnya menjuntai.
Pakaian para penari semakin indah dipadu dengan hiasan-hiasan yang ada di kepala; jamang, peces, jungkat, cunduk mentul, bunga karmelok (hiasan bunga khas Sumenep yang terbuat dari melati dan mawar), anting rambe, dan bunga gansang. Riasan mukanya pun terlihat anggun, tidak norak, dengan bedak kekuning-kuningan, khas Sumenep.
Bukan keindahan saja bila tarian yang sudah dipatenkan pada 2003 itu banyak menarik perhatian. Kesakralan yang dikandungnya menjadi daya tarik lain. Kesakralan yang tidak terjadi begitu saja, namun karena penyakralan yang dilakukan oleh masyarakat dan para pelakunya.
“Karena awalnya disakralkan, Muang Sangkal akhirnya benar-benar menjadi sakral,” jelas laki-laki berdarah ningrat tersebut.
Sebagai tarian sakral, para penarinya pun dituntut harus bersih, tidak sedang datang bulan, dan masih perawan. Kesakralan tari ini juga ditunjukkan dalam proses penguasaannya yang tidak mudah. Menurut Taufik, untuk bisa menarikan Muangsangkal dengan sempurna, latihan 1 tahun pun belum tentu bisa.
“Tarian ini halus, kelihatannnya gampang tapi sukar ditarikan. Waktu satu tahun latihan, roh dan penjiwaannya belum tentu sempurna,” tegas penari yang pernah menimba ilmu dari maestro tari terkenal Bagong Kusudiarjo ini.
Keindahan, kesakralan, dan makna yang dikandungnya membuat Tari Muang Sangkal menjadi ikon Sumenep. Setiap acara resmi kabupaten yang kaya seni budaya ini selalu dimeriahkan oleh Muang Sangkal. Tarian ini juga menjadi salah satu tari yang sering dipentaskan di Grahadi, kediaman resmi Gubernur Jawa Timur. HK