TALI RAFIA PSSI
Oleh: Dhimam Abror Djuraid*
Kongres PSSI baru akan dimulai beberapa jam lagi. Saya membuat tulisan ini dan sudah bisa membayangkan dengan jelas, crystal clear, bagaimana kepemipinan baru PSSI nanti. Melihat peta kekuatan terakhir sangat mungkin akan lahir duet maut “Duo Iwan”, Mochamad Irawan dan Iwan Budianto.
Saya juga sudah bisa membayangkan wajah-wajah dan kinerja kabinet PSSI baru nanti. Orang-orang yang menjadi kabinet Komite Eksekutif, mereka-mereka yang bakal memegang posisi kunci sebagai skretaris jenderal dan posisi kunci lainnya, sudah bisa diterka siapa saja mereka.
Tak perlu ada drama politik, seperti saat Jokowi memanggil para calon menteri yang membuat banyak orang, yang ngarep, deg-degan dan sport jantung. Dari daftar nama calon ketua umum dan wakil ketua umum, serta para calon Exco (Komite Eksekutif), kita sudah tahu persis siapa-siapa saja yang bakal mengisi kabinet. Kongres ini hanya formalitas saja, kongres ini sebuah foregone conclusion, sudah bisa disimpulkan jauh-jauh hari.
Ada wajah baru, Iwan Bule, yang sejak awal sudah terlihat sangat antusias untuk memimpin PSSI. Dia sudah berkampanye cukup lama, tertutup maupun terbuka. Mungkin sudah setahun lebih Bule berkeliling Indonesia dan mengumpulkan para pemilik suara (voters) dan meyakinkan mereka supaya memilihnya.
Semula, kemunculan Iwan Bule membawa sedikit harapan. Maklum orang baru, biasanya datang dengan banyak janji perubahan. Tapi, setelah beberapa bulan Iwan berkeliling akhirnya ia memutuskan untuk mengambil langkah strategis dengan melakukan koalisi menggandeng wajah-wajah yang sudah terlebih dulu mapan. Harapan perubahan pun mengawang-awang lagi.
Langkah koalisi strategis ini sah-sah saja diambil oleh Bule. Daripada bertarung berdarah-darah lebih baik berkoalisi, asal tujuan tercapai. Itulah prinsip politik yang paling utama, tidak ada kawan dan lawan abadi, hanya kepentinganlah yang abadi.
Mind you, asal tahu saja, kongres PSSI tak kalah dahsyat dari kongres partai politik, bahkan banyak yang bilang lebih ruwet dari kongres parpol. Politisi-politisi jagoan yang sekarang coba masuk di arena kongres PSSI, seperti Andre Rosiade dan Djamy Francis dari Gerindra, dijamin mati angin, mati gaya, dan mati kutu.
Iwan Bule boleh jadi orang baru, tapi mudah-mudahan dia tidak seperti casing saja. Dari kongres ke kongres PSSI seolah hanya mengubah casing, isinya di dalamnya tidak akan berubah, sebuah status quo, sebuah oligarki yang sulit ditembus. Eddy Rahmayadi boleh sangar saat memimpin Kostrad, tapi di PSSI ia terpental dan jatuh, meskipun jatuhnya nikmat karena jadi gubernur.
Mudah-mudahan Iwan Bule tidak sekadar casing saja. Mungkin Iwan Bule tidak sama dengan Eddy Rahmayadi. Harapan baru boleh saja disampirkan ke pundaknya, tapi, sebaiknya tidak usah terlalu berharap tinggi supaya tidak kecewa. Kita cukup berharap Iwan Bule bisa menuntaskan masa baktinya dan tidak tergoda menjadikan PSSI sebagai batu loncatan politik saja. Kita berharap Iwan Bule tidak punya ambisi politik, seperti menjadi gubernur Jawa Barat, misalnya.
Semua sudah tahu penyakit kronis PSSI adalah berkeliarannya mafia sepakbola yang masuk sampai ke level Liga 3. Ketika Polri membentuk tim satgas anti-mafia, publik berharap banyak agar penyakit kronis ini bisa terobati. Ditangkapnya beberapa anggota Exco atas tuduhan suap dan match fixing, pengaturan pertandingan, cukup memberi harapan bahwa penyakit kronis ini bisa terobati.
Sebuah acara televisi nasional menunjukkan rasa frustrasi yang dalam dari suporter dan pengamat. Mereka melihat, semakin lama penyakit PSSI makin kronis dan masuk ke stadium empat. Tidak ada obatnya, amputasi pun tidak bisa menyembuhkannya. Andai saja di Indonesia ada hukum eutanasia, suntik mati. Andre Rosiade dengan berapi-api bersumpah “Demi Allah” akan membongkar semuanya…
Problemnya sudah terlihat jelas. Orang-orang yang diduga menjadi bagian dari jaringan ini juga sudah ditangkap. Salah satunya VW yang dianggap sebagai simpul penting dalam jaringan ini. VW diduga sudah beroperasi lama dan masuk jauh ke dalam jaringan ini sampai ke pusat kekuasaan federasi.
Inilah ironi di atas ironi. Katanya VW diduga menjadi bagian jaringan pengaturan skor. Tapi, ketika VW mendekam di tahanan kasus-kasus yang diduga melibatkan pengaturan skor masih saja terjadi. Pekan lalu, sebuah pertandingan Liga 3 yang melibatkan dua tim di Jawa Timur disebut-sebut kesusupan pengaturan skor.
Pengadilan yang serius, jujur, dan adil terhadap VW akan dengan mudah membongkar jaringan gurita ini. Tak butuh effort yang terlalu besar, cukup ada political will dari pemerintah sebagai pemangku stakeholder terbesar sepakbola nasional, jaringan gurita ini akan terbongkar. Tapi, kalau ada patgulipat dan kongkalikong, serta political bargain di level atas maka jaringan ini akan tetap utuh.
Itulah yang tampak sekarang. Zainudin Amali, menteri pemuda (yang sudah berusia tidak muda) dan olahraga (entah mengurus olahraga apa) memberikan lampu hijau bagi kongres PSSI kali ini. Presiden Jokowi, yang sudah mengeluarkan Inpres 3/2019 mengenai percepatan sepakbola nasional, buru-buru mengatakan tidak akan intervensi. Mudah-mudahan inpres percepatan sepakbola nasional mengarah pada percepatan perbaikan bukan percepatan penghancuran.
Tak perlu jadi pengamat politik ulung, tak perlu jadi dukun dan paranormal politik sakti untuk melihat anatomi politik di balik kongres PSSI ini. Menteri Zainudin berasal dari Golkar, partai penyokong presiden, maka publik bisa gampang memahami mengapa kongres PSSI ini disetujui pemerintah, meskipun FIFA sebagai pemegang otoritas tertinggi, meminta kongres ditunda sampai 2020, seusai kompetisi musim ini berakhir.
Beberapa protes muncul gegara kongres ini dianggap tidak sah karena membangkang terhadap rekomendasi FIFA. Para pemrotes menyebut tidak semangat fairplay, kejujuran, dalam kongres ini, karena voters yang dilibatkan adalah voters hasil kompetisi tahun lalu. Seharunya, kata pemrotes, kongres diselenggarakan 20 Januari 2020, sebagaimana rekomendasi FIFA, sambil menunggu kompetisi yang sekarang masih berlangsung. Tapi, suara pemrotes terdengar seperti gonggongan anjing yang tak digubris oleh kafilah kongres PSSI yang tetap berlalu.
Para pegiat sepakbola sudah hafal pantun ini: Tali Rafia Tali Sepatu…(*)
Penulis: Founder “Askring Jawa Pos FC” (bukan voter PSSI)