Menelaah Aspek Religius dalam Serat Centhini

Misteri.detikone.com – Selama ini banyak yang membahami Serat Centhini sebatas ajaran erotika semata. Padahal lebih dari itu, Serat Centhini berisi ajaran yang lebih luas termasuk hal religious.

Elizabeth D. Inandiak, penulis dan penerjemah Serat Centhini, menyebut Serat Centhini merupakan naskah yang mengandung ajaran lengkap tentang Jawa. “Saya anggap Serat Centhini memang ajaran yang sangat luar biasa,” terang perempuan berkebangsaan Perancis itu.

Ia membutuhkan waktu kurang lebih lima tahun untuk menerjemahkan Serat Centhini. Sebagai penyair, ia tidak menyangkal bahwa ia telah menambahkan hal-hal tertentu dan mengurangi beberapa hal.

“Ada yang saya tinggalkan, ada yang saya kembangkan secara halus,” ujarnya terkait dengan ragam hubungan seks yang ada di dalam serat.

Elizabeth menganggap ragam hubungan seks di dalam serat itu juga merupakan bagian dari petualangan spiritual. “Pengembaraan tokoh-tokoh ini kelihatannya kacau, sebenarnya tidak,” ujarnya.

Senada dengan keterangan yang diungkapkan oleh Elizabeth, Kartika Setyawati yang juga telah bertahun-tahun mengkaji Serat Centhini mengungkapkan dalam Serat Centhini ada beberapa macam ragam hubungan seksual yang ditulis gamblang.

Ia menyebut ragam hubungan itu ada yang berupa hubungan lelaki-perempuan, atau lelaki-lelaki dengan ronggeng didasari atas rasa suka sama suka, atau dengan motivasi uang. Dari semua hubungan badan yang ada di Serat Centhini, hanya satu hubungan yang dilakukan suami-istri.

“Yang lain dilakukan atas dasar suka sama suka, baik dengan ronggeng laki-laki ataupun ronggeng perempuan,” terang Kartika.

Menariknya, dalam teks hampir selalu disebut bahwa para tokoh menyucikan diri setelah mereka melakukan persetubuhan yang berakhir di pagi hari. “Mereka mengambil air wudhu lalu salat,” kata Kartika.

Karena banyak cerita seks, tak berlebihan jika ada sebagian masyarakat menyebut Serat Centhini sebagai bacaan porno.

Seorang penulis yang fokus pada ilmu tasawuf, Agus Wahyudi yang juga lulusan Jurusan Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya UGM menyatakan label “ bacaan porno” ini harus dikoreksi, karena istilah itu berkonotasi negatif.

Ia mempertimbangkan ada kemungkinan para penulis Serat Centhini tidak memiliki niat negatif saat menyajikan gambaran seksual di dalam karya mereka. Maka, menurut Agus, salah satu istilah yang lebih tepat adalah menyebutnya bacaan beraroma seks dengan tujuan memberi gambaran aktivitas seksual yang ada di Jawa.

Lalu apakah aktivitas seksual itu lebih mendominasi isi Serat Centhini? Jawabnya tidak. Pembahasan tersebut adalah bagian dari keseluruhan isi. “Banyak pembahasan tentang seksualitas dalam Serat Centhini, tapi lebih banyak religiusnya,” kata Kartika.

Kartika mengatakan religiusitas di dalam Centhini ini dimengerti sebagai kesalehan, pengabdian terhadap agama. Dalam Serat Centhini hal yang berhubungan dengan religius tercermin dalam banyak hal, dari tuntunan dan keterangan bersifat lahiriah maupun batiniah.

Ia menyebut beberapa contoh, misalnya tuntunan berwudhu, tentang sahnya sembahyang, tentang perlunya salat, tentang Dzat Hyang Widi dan perincian tentang “sipat rong puluh.”

Selain itu, disinggung pula tentang pengetahuan tentang turunnya Lailatul Qadar, keterangan tentang ganjaran orang hafal Quran, keterangan tentang mandi pada hari Rebo wekasan pada bulan Sapar serta puasa sunnah, juga tentang urutan cara mandi dan doanya.

Agus Wahyudin melengkapi keterangan Kartika Setyawati tersebut di atas dengan mengatakan ajaran yang ada dalam Serat Centhini tidak hanya terbatas pada ajaran Islam saja namun juga ada ajaran animisme-dinamisme, Hindu, dan Budha.

Misalnya tentang Jayengsari dan Rancangkapti (dua adik Syekh Amongraga) yang berkelana sampai di Gunung Tengger, di sana mereka bertemu dengan seorang resi dan diberi wejangan tentang ajaran agama Buddha dan enam alirannya.

“Namun, karena Serat Centhini adalah produk santri, ditambah lagi dengan kondisi masyarakat Jawa yang mayoritas berstatus muslim, maka ajaran Islam lebih mendominasi,” kata Agus.

Dalam makalah yang dibuatnya untuk diskusi bertajuk “Setelah 200 tahun Serat Centhini, Erotisisme dan Religiusitas dalam Kitab-kitab Nusantara,” disebutkan ajaran Islam yang dijabarkan dalam Serat Centhini ada dua: ajaran fikih (hukum Islam) dan ajaran tasawuf (kebatinan Islam).

Lebih jauh, ia menjelaskan ajaran fikih dalam serat ini cenderung sederhana dan terkesan apa adanya. Porsinya juga jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jabaran ajaran tasawuf yang memang menjadi jiwa bagi Serat Centhini itu sendiri.

Menurut Agus, pokok ajaran tasawuf Jawa adalah martabat tujuh. Ajaran ini berisi tentang eksistensi manusia dan Tuhan, bahwa pada dasarnya manusia dan alam semesta ini adalah tajali (penampakan diri) Tuhan.

Ia menambahkan di dalam serat Centhini ajaran Martabat Tujuh juga dijabarkan bahkan dalam dua versi. Pertama dijelaskan melalui lisan Syekh Amongraga. Yang kedua, oleh Panembahan Rama atau Panembahan Kajoran.

“Serat Centhini tidak memberi penilaian bahwa yang satu sahih dan yang satunya tidak, hanya sekedar menyampaikan informasi saja,” tutup Agus.//

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: