Cara Warga Osing Banyuwangi Memuliakan Sapi Kurban

Suasana Idul Adha di Banyuwangi tak hanya dirayakan dengan semarak, tetapi juga dengan kelembutan dan penghormatan yang mendalam terhadap hewan kurban. Di Lingkungan Papring, Kelurahan/Kecamatan Kalipuro, tradisi Suku Osing—suku asli Banyuwangi—masih terus dijaga: sapi-sapi kurban diperlakukan layaknya tamu agung.
Asnoto, warga setempat dari RT 04 RW 02, menjelaskan bahwa sehari sebelum penyembelihan, sapi-sapi kurban dimandikan dengan penuh perhatian. Setelah bersih, tubuh mereka diberi wewangian, lalu diistirahatkan. Di malam harinya, keluarga dan warga menggelar tasyakuran—sebuah bentuk doa dan rasa syukur menjelang hari besar.
Namun puncak keistimewaan justru terjadi di pagi Idul Adha. Sapi-sapi itu tak hanya dibawa ke tempat penyembelihan, tetapi juga dirias. Tubuh mereka dibedaki, bulu disisir rapi, mata dicelaki, dan leher diikat dengan tali benang tenun khas daerah. Tanduk dan kepala sapi dihiasi kembang tujuh rupa. Tak ketinggalan, sehelai kain kafan putih dibentangkan di punggung sapi sebagai simbol pengantaran menuju akhir pengabdian.
“Ini bukan kewajiban agama, tapi sudah menjadi adat kami sejak zaman dulu,” tutur Asnoto.
Tahun ini, dua ekor sapi—milik keluarga Marhumah dan Jawahir—mengikuti prosesi tersebut. Setiap detail perlakuan, menurut Asnoto, adalah wujud penghormatan. Tradisi ini diwariskan secara lisan dari para nenek moyang.
“Nenek saya dulu bilang, kalau kita mampu berkurban, hewan itu harus dimuliakan. Jangan disakiti, dirawat baik, biar tenang saat waktunya tiba,” kisahnya.
Setelah melalui semua proses yang penuh makna itu, sapi-sapi tersebut akhirnya disembelih secara gotong-royong oleh warga. Dagingnya kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar—sebagai penutup dari sebuah ritual panjang yang sarat akan nilai kasih sayang, penghargaan, dan warisan budaya yang tak ternilai.//