Melihat Tradisi Tedak Siten, Masih Eksis di Metropolis

Penjor.id – Dalam kurungan ayam, Muhammad Adipramana Diwangkara tampak bingung memilih bermacam barang mainan yang ada di dekatnya. Namun kemudian dia mengambil sebuah tasbih, dan berlanjut ke sebuah mainan berbentuk alat kedokteran, stetoskop.
Hari itu, Rabu (18/6/2025), Adipramana sedang menjalani ritual tedak siten, sebuah upacara dalam tradisi budaya Jawa untuk menandai seorang anak pertama kali turun ke tanah. Mengambil barang dalam kurungan ayam menjadi bagian prosesi ritual tersebut.
Adipramana telah memasuki usia delapan bulan atau tujuh lapan dalam kalender Jawa, momen yang pas untuk kaki kecilnya mulai menapak tanah. Karena pada umur itu biasanya seorang anak mulai belajar duduk dan berjalan menjejak bumi.
“Alhamdulillah anak kami tertarik mengambil tasbih. Semoga saat dewasa nanti selalu mengingat dan berzikir kepada Sang Maha Pencipta. Alhamdulillah juga kemudian mengambil stetoskop. Semoga ini menjadi pertanda bahwa kelak dia paham bahwa kesehatan adalah investasi utama dalam kehidupan,” ungkap Nur Sugianto, ayah Adipramana.
Seperti tradisi budaya Jawa lainnya, tedak siten memang kaya dengan simbol dan pengharapan. Mengutip situs Dinas Kebudayaan Yogyakarta, tedak siten merupakan simbol bimbingan orang tua kepada anaknya dalam meniti kehidupan melalui ubarampe dan serangkaian prosesi yang dilakukan.
Bermacam ubarampe perlu dipersiapkan, di antaranya kurungan ayam dan tangga yang terbuat dari batang tebu. Dalam kurungan ayam diletakkan bermacam barang atau benda seperti alat tulis dan mainan anak berbagai bentuk.
Ubarampe selanjutnya jadah, makanan terbuat dari beras ketan, yang terdiri tujuh warna. Kemudian air untuk membasuh dan memandikan anak, ayam panggang, pisang raja, udhik-udhik, jajan pasar, berbagai macam jenang, serta tumpeng lengkap dengan urap-urap dan nasi kuning
Ritual tedak siten diawali dengan prosesi membersihkan kaki si anak. Kedua orang tua menggendong si anak dan mencuci kakinya hingga bersih sebelum menginjak tanah. Prosesi ini bermakna, si anak mulai menapaki kehidupan baru dengan kesucian hati..
Prosesi selanjutnya berjalan melewati jadah tujuh warna yang masing-masing memiliki arti dan makna. Merah artinya keberanian, dengan harapan si anak berani melangkah dalam kehidupan. Kuning artinya kekuatan lahir dan batin yang wajib dimiliki oleh seseorang.
Putih artinya kesucian, merah jambu atau pink artinya cinta dan kasih sayang kepada orangtua dan keluarga. Biru berarti ketenangan jiwa dalam menjalani kehidupan, hijau berarti lingkungan sekitar dan kesuburan, ungu artinya kesempurnaan atau puncak.
Anak dituntun berjalan di atas jadah tujuh warna tersebut. Tujuh dalam bahasa Jawa disebut pitu, bermakna pitulungan atau pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa bila si anak kelak harus menghadapi kesulitan hidup.
Selesai menapaki jadah tujuh warna, anak dituntun menaiki tangga tebu dengan tujuh anak tangga. Menurut filosofi Jawa, tebu berasal dari kata antebing kalbu yang berarti penuh tekad dan rasa percaya diri.
Ritual ini menggambarkan perjalanan hidup yang kelak harus dihadapi si anak. Harapannya, ia tidak mudah menyerah dalam meraih cita-citanya. Orang tua yang mendampingi prosesi menggambarkan dukungan keluarga pada si anak dalam menjalani hari-harinya ke depan.
Selanjutnya anak dimasukkan kurungan ayam yang di dalamnya terdapat berbagai benda seperti perhiasan, buku tulis, beras, mainan, dan lain sebagainya. Ini menggambarkan kehidupan nyata yang akan dimasuki si anak kelak. Benda di dalam kurungan menggambarkan profesi yang ingin dijalani saat dewasa.
Upacara berlanjut pada prosesi memandikan anak. Menggunakan air yang diambil oleh kedua orang tua pada malam hari sekitar pukul 22.00 – 24.00. Air didiamkan atau diembunkan sampai terkena sinar matahari keesokan hari. Air tersebut kemudian diberi bunga.
Maknanya, agar kelak si anak menjadi orang yang membanggakan, dapat mengharumkan keluarga dan dirinya. Setelah prosesi ini selesai, kemudian anak diberi pakaian.
Prosesi terakhir adalah memberikan udhik-udhik, yaitu uang logam yang bercampur dengan bermacam-macam bunga. Udhik-udhik disebar dan dibagikan kepada anak-anak dan orang dewasa yang hadir dalam acara tersebut. Harapannya kelak agar si anak dapat mendermakan rezekinya kepada fakir miskin.
Meski banyak makna positif yang bisa dipetik, hanya sedikit orang yang masih mempertahankan tradisi tedak siten. Menariknya, dari sedikit orang itu adalah anak-anak muda metropolis yang setiap hari dilingkupi arus modernisasi.
Seperti pasangan muda Nur Sugianto dan Nur Tsalasah Rohmatin yang baru saja menggelar tradisi tedak siten untuk putra pertamanya. Meski tinggal di kota sebesar Surabaya, Nur Sugianto berusaha untuk terus menjaga dan menghormati tradisi budaya leluhur.
“Karena kami percaya berbagai prosesi dalam Tedak siten sangat penuh makna. Kami juga ingin memahami, memaknai, dan ingin menjaga budaya Jawa yang penuh ajaran nilai-nilai kebaikan. Nguri-uri budaya Jawa kang adi luhung,” ujar warga Kapas Jaya, Surabaya, itu.
Sebagai manusia yang di tubuhnya mengalir darah Jawa, ia ingin turut melestarikan budaya leluhur yang saat ini mulai banyak ditinggalkan. Ia berharap kelak anak keturunannya juga tetap memegang teguh dan melestarikan budaya Jawa.
“Dan paling utama adalah kami mengajarkan ke putra pertama kami, jangan pernah melupakan sejarah dimana kamu lahir dan dibesarkan yaitu Tanah Jawa,” pungkas Nur Sugianto. HK