Lontar – Lontar Kuno yang Disakralkan di Lereng Merbabu
Penjor.id – Di Dusun Kedakan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, lontar-lontar kuno ini telah tersimpan ratusan tahun dan sangat disakralkan. Sumitro, sesepuh dusun yang berada di lereng Gunung Merbabu tersebut, dipercaya menyimpan dan menjaganya.
Di sebuah tempat khusus di dekat kotak-kotak penyimpanan wayang, Sumitro menyimpan lembaran-lembaran naskah kuno yang diamanatkan padanya. Sudah 30 tahun lebih Sumitro menjaga naskah-naskah tak ternilai harganya yang ditulis di atas daun lontar itu.
“Seingat saya, saya mendapatkan amanat ini sejak umur 30 tahun. Waktu itu setelah setahun meninggalnya Mbah Sudarmo. Nggak tahu kenapa, warga memilih saya untuk menyimpannya,” ungkap Sumitro dengan bahasa Jawa halus, beberapa waktu lalu.
Mbah Sudarmo adalah sesepuh dusun yang terlebih dulu mendapatkan kehormatan menyimpannya. Sumitro tak bisa menjelaskan mengapa dirinya yang mendapat amanat untuk menyimpan benda itu. Yang dia tahu, lontar kuno tersebut sudah ratusan tahun menjadi harta sekaligus jimat Dusun Kedakan.
Tak mudah Sumitro memberi ijin orang untuk melihat atau memegangnya. Beruntung saya salah seorang yang diberi kesempatan melihat bahkan memotretnya, setelah para peneliti beberapa tahun lalu.
Ada 35 lembar lontar yang ditandai dengan angka latin di masing-masing ujungnya. Setiap lembar berukuran panjang 45 sentimeter dengan lebar 3,5sentimeter. Antar lembar dirangkai oleh seutas tali dan dikaitkan pada sepasang bilah bambu yang dilubangi tengahnya.
Bundel lembar-lembar lontar itu bila direntangkan akan membentuk lingkaran seperti kipas. Saat terentang seperti itu, di atas lontar terlihat jelas deret-deret aksara yang ‘tak bisa dibaca’.
Diserap Pujangga Kraton
Seorang ahli Jawa kuno, Romo I Kuntara Wiryamartana, pernah menemui Sumitro beberapa tahun silam. Romo Kuntara menyebut lontar-lontar tersebut sebagai Putru Sangaskara.
Menurut beberapa sumber, keberadaan lontar-lontar tersebut mulai diketahui ketika Belanda melakukan ekspedisi menyusuri lereng barat Gunung Merbabu pada 1885. Saat itu mereka menemukan sebuah perpustakaan pribadi milik Kyai Windusana.
Perpustakaan itu berisi koleksi ratusan lontar dari Merapi-Merbabu yang bentuk dan sistem aksaranya memiliki ciri khas. Bukan aksara Sanskerta, Kawi, atau aksara Jawa. Ahli waris lontar menyebut aksara itu sebagai aksara ‘buda’ dan menerangkan bahwa Kyai Windusana dahulu beragama Buddha.
Oleh tim ekspedisi, lontar-lontar itu kemudian diambil untuk perpustakaan Batavia, Bataviaas Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Lontar-lontar itu sebagian kini masih tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Beberapa lainnya di Bibliotheque Nationale di Paris dan British Museum.
Romo Kuntara menyebut naskah-naskah di lontar itu sebagai manuskrip yang terlupakan. Padahal dari pelacakannya, Kuntara menyinpulkan bahwa teks-teks lereng Merapi – Merbabu juga diserap oleh kalangan pujangga Istana Surakarta.
“Punika haksara buda hingkang kahangge para hajar-ajar hing redi..” Ini aksara buda yang digunakan oleh para spiritualis di pegunungan, begitu kata Ronggowarsito, seperti pernah dikutip Poerbatjaraka, ahli sastra Indonesia kuno.
Dijadikannya karya-karya lereng Merapi-Merbabu sebagai rujukan kraton menandakan bahwa karya “orang pinggiran” itu bukan karya sembarangan. “Mayoritas bertema olah batin, olah pababratan, perihal tapa brata,” Kuntara menandaskan.
Mantra Ruwat
Menurut Kuntara, koleksi manuskrip Windusana begitu lengkap. Mulai dari kakawin, primbon, tutur, kretabasa, sampai kidung. “Banyak sekali mantra-mantra ruwatnya,” kata Kuntara.
Juga berbagai rajah atau lambang aneh dan khas yang tidak ada dalam khazanah naskah Jawa lain. Misalnya bentuk wayang yang tak bisa diidentifikasi tokohnya.
Tema-tema kidung mulai dari uraian asal-usul manusia, penciptaan jagat raya, sampai perjalanan mencari kesempurnaan hidup seperti Kidung Subrata. Juga koleksi primbonnya, dari primbon penyakit sampai primbon gempa. Lontar zodiac sampai pawukon.
“Ada lontar yang mengisahkan perjalanan roh seperti Tibetan Book of the Dead,” kata Kuntara seperti dilansir tempointeraktif.com.
Terlepas dari isinya yang mayoritas bertema pababratan seperti diungkap Romo Kuntara, senyatanya lontar-lontar tersebut sangat disakralkan oleh warga Kedakan. Sebagai warisan turun-temurun dan hanya orang-orang tertentu yang berhak menyimpannya, menjadi alasan penghormatan tersebut.
“Setiap selapan, 35 hari, pada hari Kamis Wage, saya selalu memberinya sesaji. Berupa kembang kenanga dan air, dan saya taruh di dekatnya,” pungkas Sumitro, bapak 3 anak yang selalu bersikap ramah terhadap para tamunya. HK